"Bangunan dan fasilitas penting di Jepang sudah dipersiapkan untuk menghadapi gempa," ungkap Zaki. Kekuatan gempa tertinggi yang diprediksi oleh Jepang adalah 7,9 SR. Maka, bangunan dan fasilitas didesain agar tahan menghadapi gempa 8,5 SR. Kekuatan bangunan dan fasilitas sengaja dilebihkan untuk alasan keamanan. "Namun, gempa yang terjadi besarnya 9 SR, jauh melebihi prediksi. Maka terjadilah ledakan reaktor nuklir," jelas Zaki.
Zaki mengungkapkan bahwa mayoritas reaktor nuklir yang terdapat di Jepang merupakan tipe Boiling Water Reactor (BWR), yaitu reaktor yang menggunakan uap air sebagai penggerak turbin. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tipe BWR telah memiliki sistem keamanan berupa emergency core cooling system untuk mencegah pemanasan berlebih pada bahan bakar, passive containment cooling system untuk mendinginkan udara tanpa menggunakan listrik sehingga dapat bekerja otomatis, high pressure coolant injection system untuk mengantisipasi pecahnya pipa, dan banyak lainnya.
Permasalahan yang terjadi pada PLTN di Jepang adalah rusaknya beberapa sistem pendukung dikarenakan kekuatan gempa yang terlalu besar. Rusaknya pompa mengakibatkan decay heat, sehingga terdapat panas sebanyak 1-2% yang harus didinginkan. Suhu teras reaktor meningkat, menyebabkan meningkatnya tekanan sebesar 30 cmHg di atas normal. Untuk mengurangi tekanan teras, operator mengeluarkan sebagian gas dari teras. Namun sebagian gas yang keluar adalah hidrogen, yang meledak ketika bertemu oksigen.
Saat ini, para teknisi di Jepang mendinginkan reaktor dengan menyemprotkan air laut dan air boron. Penyemprotan air laut dilakukan karena pompa rusak akibat gempa, sedangkan penyemprotan air boron dilakukan untuk mencegah reaktor aktif kembali.
Permasalahan akan selesai jika teknisi berhasil menurunkan temperatur dan tekanan pada reaktor. Saat ini temperatur reaktor mencapai 500 derajat Celcius. Temperatur yang diinginkan adalah 280 s.d. 300 derajat Celcius.
PLTN Indonesia: Peluang dan Standar Keamanan
Lantas apakah kecelakaan ini membuktikan bahwa PLTN adalah alternatif energi yang berbahaya?
"Di Jepang, tidak ada lokasi yang tidak berpotensi terkena gempa. Namun 40% energi mereka berasal dari PLTN," tutur Irwan. Jepang merupakan negara yang sangat rawan gempa, dengan potensi gempa yang tinggi di sebagian besar wilayahnya.
Tidak seperti Jepang, Indonesia masih memiliki beberapa daerah dengan potensi gempa yang rendah. "Daerah-daerah inilah yang seharusnya digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN," jelas Irwan.
Berdasarkan Peta Zonasi Gempa, Indonesia memiliki potensi gempa yang beragam. Ada daerah dengan potensi gempa sangat tinggi seperti Manokwari dan sebagian Sumatera dan Sulawesi; ada yang memiliki potensi gempa tingkat menengah seperti Jawa; dan ada yang memiliki potensi gempa sangat rendah seperti Kalimantan, Bangka Belitung, dan bagian utara Banten.
"Jangan lupakan fakta bahwa nuklir adalah sumber energi yang murah. Listrik yang berasal dari PLTN hanya dihargai Rp 300 s.d. Rp 350 per kWh. Bahkan, PLTN generasi keempat dapat menyediakan listrik dengan tarif Rp 150 s.d. Rp 200 per kWh. Inilah sebabnya pemerintah Cina saat ini menggalakkan pembangunan PLTN," jelas Zaki. "Selain itu, PLTN tidak menghasilkan emisi karbon,"
"Dalam pembangunan PLTN, yang terpenting ialah pelajari potensi bencananya, lalu buat desain yang meminimasi terjadinya kerusakan apabila terjadi bencana," ungkap Zaki. "Pastikan margin of safety (dimensi desain yang sengaja dilebihkan untuk alasan keamanan-red) telah memadai."
Kamis, 24 Maret 2011
Sabtu, 12 Maret 2011
seni lukis
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa. Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa. Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.
Langganan:
Postingan (Atom)